Jakarta, sebagai ibu kota negara yang padat dan terus berkembang, menghadapi ancaman ganda yang serius: tenggelamnya permukaan tanah dan ancaman Krisis Air Bersih yang berkepanjangan. Kekurangan air di beberapa wilayah, seperti yang dialami warga Kelurahan Pegadungan dan Penjaringan di Jakarta Utara pada puncak musim kemarau tahun 2023, hanyalah puncak gunung es dari masalah struktural dan lingkungan yang kompleks. Ancaman kekeringan ini bukan semata-mata dipicu oleh musim kemarau panjang, tetapi oleh kombinasi antara eksploitasi sumber daya air tanah yang masif, minimnya infrastruktur penampungan air permukaan, dan pencemaran sungai.
Akar Masalah: Eksploitasi Air Tanah dan Kerusakan Lingkungan
Penyebab utama yang membuat Jakarta terancam kekeringan dan tenggelam secara bersamaan adalah pengambilan air tanah yang berlebihan. Karena jaringan air perpipaan dari Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya baru menjangkau sekitar 60% wilayah, banyak warga, termasuk industri, terpaksa menyedot air dari akuifer di bawah tanah. Eksploitasi yang masif dan tidak terkendali ini menyebabkan tanah di atasnya mengalami kompaksi dan ambles (land subsidence).
Lembaga penelitian Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mencatat bahwa laju penurunan permukaan tanah di beberapa wilayah Jakarta Utara mencapai hingga 15 cm per tahun. Penurunan ini tidak hanya membawa Jakarta lebih dekat ke permukaan air laut yang naik akibat perubahan iklim, tetapi juga mempercepat intrusi air laut ke dalam akuifer air tanah, membuatnya asin dan tidak layak konsumsi, sehingga memperburuk Krisis Air Bersih. Selain itu, pencemaran berat yang dialami 11 dari 13 sungai di Jakarta, akibat limbah rumah tangga dan industri, membuat air permukaan sulit diolah kembali menjadi air bersih.
Solusi Jangka Panjang: Infrastruktur dan Konservasi
Mengatasi Krisis Air Bersih dan ancaman kekeringan di Jakarta membutuhkan intervensi jangka panjang yang holistik dan terintegrasi. Solusi kedaruratan seperti distribusi air bersih menggunakan 75 mobil tangki air, yang dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta ke wilayah-wilayah terdampak pada Oktober 2023, hanyalah tindakan sementara.
Strategi jangka panjang harus berfokus pada dua pilar utama:
- Pengembangan Infrastruktur Air Permukaan: Pemerintah Daerah DKI Jakarta, melalui PAM Jaya, berkomitmen mencapai cakupan layanan jaringan perpipaan 100% pada tahun 2030. Upaya ini harus diperkuat dengan pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) baru yang menggunakan sumber air dari luar Jakarta atau memaksimalkan Instalasi Pengolahan Air Laut (Sea Water Reverse Osmosis) di kawasan pesisir. Selain itu, Gerakan Pemanenan Air Hujan yang didorong oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) harus diwajibkan, dengan pembangunan sumur resapan, embung, dan tandon komunal untuk menampung air hujan yang melimpah (yang justru menyebabkan banjir) agar dapat menjadi cadangan air pada musim kemarau.
- Penegakan Hukum dan Konservasi: Penertiban sumur-sumur ilegal dan pelarangan ketat penggunaan air tanah bagi bangunan komersial wajib dilakukan secara konsisten oleh aparat kepolisian dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Program konservasi seperti reboisasi di kawasan hulu sungai dan restorasi badan sungai untuk meningkatkan daya serap tanah juga merupakan langkah krusial untuk menjaga siklus hidrologi dan mengurangi tekanan pada air tanah Jakarta.
Hanya dengan komitmen serius dan investasi besar pada infrastruktur air permukaan serta konservasi lingkungan, ancaman Krisis Air Bersih di Jakarta dapat diatasi secara berkelanjutan, memastikan ketersediaan air yang aman bagi jutaan penduduk di masa depan.