Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, memiliki garis pantai yang rentan terhadap bencana alam dan kerusakan lingkungan, menjadikannya salah satu negara dengan kebutuhan konservasi pesisir paling mendesak. Di tengah kerentanan ini, Ekosistem Mangrove berdiri sebagai benteng alami yang tak ternilai harganya. Lebih dari sekadar kumpulan pepohonan di wilayah pasang surut, hutan mangrove adalah sistem penyangga ekologi vital yang secara fisik melindungi daratan dari ancaman abrasi (pengikisan pantai oleh gelombang laut) dan meredam energi gelombang ekstrem seperti tsunami. Peran ganda ini menjadikan Ekosistem Mangrove sebagai investasi kritis bagi keselamatan dan keberlanjutan wilayah pesisir kita, serta menopang kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Secara fisik, manfaat perlindungan hutan mangrove berasal dari jalinan akar tunjang (prop roots) yang khas. Struktur akar yang rumit ini bekerja seperti jaring-jaring raksasa yang menahan sedimen dan lumpur, mengikat tanah pesisir secara efektif. Proses ini menstabilkan garis pantai dan mencegah erosi yang parah akibat hempasan ombak harian. Sebagai contoh nyata, kerusakan parah yang terjadi di Pantai Utara Jawa Tengah selama dekade terakhir, yang menyebabkan penyusutan daratan secara cepat, sebagian besar disebabkan oleh hilangnya hutan mangrove akibat alih fungsi lahan menjadi tambak. Ketika benteng alami ini hilang, daratan menjadi rentan dan mudah tergerus.
Dalam konteks bencana yang lebih besar seperti tsunami, penelitian menunjukkan bahwa Ekosistem Mangrove berperan sebagai peredam alami yang sangat efektif. Meskipun tidak dapat menghentikan tsunami sepenuhnya—terutama jika gelombangnya sangat tinggi—kerapatan tajuk dan kekokohan perakaran mangrove dapat secara signifikan memperlambat laju gelombang dan memecah energinya. Berdasarkan kajian pasca-tsunami Aceh 2004, disimpulkan bahwa kawasan yang masih memiliki jalur hijau mangrove setebal 100 hingga 200 meter mengalami kerusakan yang jauh lebih ringan dibandingkan kawasan yang telah kehilangan hutan mangrovenya. Efek perlambatan ini memberi waktu berharga bagi penduduk pesisir untuk melakukan evakuasi dan secara langsung mengurangi potensi korban jiwa.
Selain fungsi perlindungan fisik, hutan mangrove memiliki nilai ekologis dan ekonomi yang luar biasa. Secara ekologis, hutan ini berfungsi sebagai “dapur” ekosistem pesisir; ia adalah tempat pemijahan, pembesaran (nursery ground), dan mencari makan bagi beragam biota laut, termasuk udang, kepiting bakau, dan banyak jenis ikan komersial. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa produktivitas perikanan di wilayah yang didukung oleh mangrove yang sehat cenderung jauh lebih tinggi. Selain itu, Ekosistem Mangrove adalah penyerap karbon biru (blue carbon) yang sangat efisien, menyimpan karbon dalam biomassa dan sedimennya hingga empat kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan tropis daratan, menjadikannya kunci dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.
Ancaman terbesar terhadap kelestarian Ekosistem Mangrove adalah konversi lahan untuk kepentingan ekonomi yang tidak berkelanjutan, seperti pembukaan tambak udang dan bandeng. Upaya konservasi dan rehabilitasi pun terus digencarkan. Pemerintah, melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), menargetkan rehabilitasi kawasan mangrove seluas jutaan hektare hingga tahun 2027. Selain itu, inisiatif dari masyarakat lokal juga memegang peranan penting. Misalnya, Komunitas Nelayan Pesisir “Wana Bahari” di Desa Sukakerta, Karawang, pada hari Sabtu, 21 September 2024, berhasil menanam kembali 15.000 bibit bakau dengan melibatkan dukungan penuh dari Polair setempat untuk mencegah pembalakan liar. Konservasi mangrove adalah tanggung jawab bersama; melindungi pohon ini berarti kita melindungi nyawa, mata pencaharian, dan masa depan lingkungan kita.