Dari Konservasi ke Kolaborasi: Gerakan Pelestarian Alam yang Dimulai dari Komunitas

Pelestarian alam yang efektif tidak bisa lagi hanya mengandalkan upaya pemerintah atau lembaga besar semata. Paradigma bergeser dari konservasi yang bersifat top-down menjadi kolaborasi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Gerakan pelestarian alam yang paling sukses seringkali justru dimulai dan digerakkan dari tingkat komunitas, di mana masyarakat lokal memiliki ikatan langsung dengan lingkungan mereka dan merasakan dampak perubahan secara personal. Pendekatan ini membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab kolektif.

Peran komunitas dalam gerakan pelestarian alam sangat vital karena mereka adalah pihak yang paling memahami kondisi lingkungan setempat. Misalnya, di daerah pesisir, nelayan tradisional memiliki pengetahuan mendalam tentang pola migrasi ikan, kondisi terumbu karang, dan musim-musim tertentu yang cocok untuk penangkapan ikan berkelanjutan. Dengan melibatkan mereka dalam program konservasi laut, seperti pembentukan kelompok pengawas perikanan atau inisiatif restorasi terumbu karang, upaya pelestarian akan lebih efektif dan berkelanjutan. Sebagai contoh, di Desa Bahari, Lombok Utara, pada tanggal 14 Mei 2025, kelompok nelayan lokal “Pesisir Lestari” berhasil merestorasi 2 hektar terumbu karang yang rusak dengan metode transplantasi, setelah mendapatkan pelatihan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat.

Selain itu, gerakan pelestarian alam yang berbasis komunitas juga mampu mengatasi konflik kepentingan yang mungkin timbul antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan tujuan konservasi. Dengan pendekatan kolaboratif, solusi dapat ditemukan yang menguntungkan kedua belah pihak. Misalnya, program ekowisata berbasis masyarakat yang dikembangkan di sekitar kawasan hutan lindung dapat memberikan alternatif mata pencarian bagi warga, sehingga mengurangi tekanan terhadap eksploitasi hutan. Di Taman Nasional Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, pada bulan Juli 2024, para pemandu wisata lokal yang tergabung dalam Asosiasi Pemandu Rinjani bekerja sama dengan pengelola taman nasional untuk memastikan praktik pendakian yang ramah lingkungan, termasuk pengelolaan sampah dan edukasi kepada pendaki. Ini menunjukkan bagaimana ekonomi lokal dapat berjalan seiring dengan upaya konservasi.

Pemerintah dan lembaga non-pemerintah memiliki peran penting sebagai fasilitator dan pendukung gerakan pelestarian alam yang digagas komunitas. Mereka dapat menyediakan pelatihan, pendanaan, dan akses teknologi yang dibutuhkan. Misalnya, pada tanggal 8 September 2025, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan program “Dana Hibah Komunitas Konservasi” di 15 provinsi di Indonesia, yang secara khusus ditujukan untuk mendukung inisiatif pelestarian lingkungan yang berasal dari masyarakat lokal. Program ini memberikan kesempatan bagi komunitas untuk mengajukan proposal proyek mereka sendiri dan mendapatkan dukungan finansial serta teknis.

Dengan demikian, pergeseran dari konservasi yang terpusat ke gerakan pelestarian alam yang digerakkan oleh komunitas adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan. Ketika masyarakat lokal diberdayakan, diberikan pengetahuan, dan dilibatkan secara aktif, mereka menjadi garda terdepan dalam menjaga dan merawat lingkungan mereka sendiri. Inilah model pelestarian yang paling efektif dan inklusif, memastikan bahwa upaya menjaga bumi adalah tanggung jawab bersama yang diemban dari tingkat akar rumput.